WAHYU, HADIST QUDSI DAN HADIST NABAWI
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an
sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dalam hubunganya dengan ilmu
pengetahuan adalah mendorong umat manusia untuk mempergunakan akal pikirannya
serta menambahkan ilmu pengetahuannya sebisa mungkin.
Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta untuk percaya kepada yang
setiap penemuan baru.
Al-Qur’an
sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam ajaran agama Islam tentunya
menempati posisi yang signifikan. Mengingat posisinya yang signifikan itu maka
diperlukan adanya pemahaman yang komprehensif terkait dengan eksistensi
al-Qur’an. Selain al-Qur’an, setiap muslim juga mengenal adanya sumber hokum
yang kedua yakni Hadist atau Sunnah, baik Hadist Qudsi maupun Hadist Nabawi.
Keduanya
menjadi sumber hukum Islam yang diyakini dan dipedomani oleh seluruh umat
muslim. Keduanya memiliki perbedaan-perbedaan. Perbedaan di antara keduanya
harus diketahui oleh setiap muslim sebagai landasan awal dalam memahami
keduanya lebih lanjut. Pemahaman yang baik terhadap keduanya akan mempengaruhi
kualitas ibadah dari setiap muslim.
Kemudian wahyu
sebagai isyarat yang diberikan kepada manusia, maka harus diyakini bahwa wahyu
hanya datang dari sang khalik yaitu Allah SWT. kepada manusia-manusia
pilihan-Nya. Sesuai kodratnya manusia hanya mampu menerima wahyu itu dengan
bentuk, kondisi dan keadaan tertentu.
Percaya kepada
wahyu yang diturunkan Allah SWT. berarti tidak hanya percaya kepada Al-Qur’an
saja. Tetapi percaya kepada segala wahyu yang diturunkan wahyu sebelumnya. Berdasarkan
ayat di atas bahwa setiap zaman sebelum Nabi Muhammad SAW. mempunyai nabi atau rasul
yang membawa wahyu dari Allah SWT. setiap nabi atau rasul menerima wahyu dengan
keadaan dan situasi berbeda adakalanya melalui perantaraan Malaikat Jibril,
melalui mimpi, atau langsung diterima dari Allah SWT.
Makalah ini
mencoba memberi batasan tertentu mengenai wahyu, hadistt qudsi, hadistt nabawi, sehingga
kita semua memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai ketiga hal tersebut.
B.
Pembahasan
1.
Pengertian
Wahyu
Secara
kebahasaan, wahyu memiliki banyak arti yang berbeda-beda. Diantaranya adalah:
isyarat, tulisan, risalah, pesan, perkataan yang terselubung, pemberitahuan, secara
bergegas yang disampaikan kepada orang
lain.
Dikatakan wah}aitu ilaih atau auh}aitu. Kalimat ini
digunakan jika orang lain tingan ingin mendengarnya. Wahyu mengandung makna
isyarat yang cepat. itu terjadi biasanya melalui pembicaraan melalui simbol,
terkadang melalui suara semata, dan terkadang juga melalui isyarat sebagian
anggota badan.
Al-Wah}y atau kata wahyu adalah kata
masdar (infinitif dan materi kata itu menunjukan dua pengertian dasar, yaitu:
tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, bahwa dikatakan wahyu adalah ialah
pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang
yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi
terkadang juga bahwa yang dimaksud adalah al-mu>h}a> yaitu
pengertian isim maf’ul yang diwahyukan. Pengertian wahyu dalam al-Qur’an
meliputi beberapa arti yaitu:
a.
Isyarat
secara rahasia. Ini adalah pemaknaan wahyu secara kebahasaan. Sebagaimana yang
dimaktubkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan Nabi Zakaria, firman Allah Q.S.
Maryam ayat 11.
Artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia
memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan
petang.
b.
Petunjuk
naluriah, yaitu petunjuk yang bersifat naluriah yang ada dalam diri semua
makhluk. Baik itu manusia atau hewan secara inting mengetahui jalan keabadian
dan keberlangsungan hidupnya. Seperti wahyu Allah SWT kepada lebah. firman
Allah Q.S. al-Nahl ayat 68.
Artinya: Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon
kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”.
c.
Ilham (bisikan gaib): kadangkala manusia menerima pesan
tetapi tidak mengetahui dari mana pesan itu berasal. Biasanya pesan ini muncul dalam kondisi
terdesak, ketika dia telah menapaki jalan buntu. Tiba-tiba, muncul pancaran
dari hati yang memberitahu adanya jalan terang dan harapan untuk terbebas dari
kesulitan. Sebagaimana seperti wahyu kepada ibunda Musa as. Firman Allah SWT. QS. Al-Qashash ayat
7.
Artinya: Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia,
dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan
janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya
kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari
para rasul.
d.
Berarti bisikan, janggal
bahkan
tidak tepat bila dikatakan setan memberi wahyu. Tetapi dalam Allah menggunakan
kata yu>hi> untuk setan yang berbentuk jin dan
setan berbentuk manusia.
Firman Allah dalam Q.S. al-An’am ayat 112.
Artinya: Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu
musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya
mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka
ada-adakan.
e.
Lafaz
“Wahyu” juga digunakan untuk menyebutkan firman
Allah SWT. Yang berupa perintah kepada para Malaikat supaya mereka
melaksanakan tugas seketika itu juga. Firman Allah SWT.
dalam Q.S. al-Anfal ayat
12.-
Artinya: (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para
malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian)
orang-orang yang Telah beriman". kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke
dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap
ujung jari mereka.
Sedangkan
wahyu Allah SWT. kepada para nabi secara syara mereka didefinisikan
sebagai “ kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi”,. Definisi ini
menggunakan kata maf’ul yaitu al-muha. Muhammad Abduh dalam kitab
Risalatut tauhid sebagaimana
dikutip oleh Manna>>‘
Khali>l al-Qat}t}a>n
menjelaskan bahwa wahyu sebagai pengetahuan dari dalam dirinya dengan
disertai keyakinan pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui
perantara ataupun tidak; yang pertama melalui suara yang terjelma dalam
telinganya ataupun tanpa suara sama
sekali. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang
diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa
mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaaan lapar,
haus, sedih dan senang.
Definisi
di atas adalah pengertian masdar wahyu. Bagian awal definisi ini mengesankan
adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf, tetapi
perbedaannya dengan ilham diakhir defenisi meniadakan hal ini.
2.
Bagaimana
Wahyu itu Turun
a.
Cara wahyu Allah Turun kepada para Malaikat
Dalam
Al-Qur’an al-Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada Malaikat-Nya.
Sebagaiman firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah ayat 31.
Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman:
"Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang
yang benar!"
Ada juga
nash al-Qur’an tentang para malaikat yang mengurus urusan dunia menurut
perintah-Nya. Allah berfirman dalam Q.S. an-Naziat ayat 5.
Artinya: Dan (Malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia).
Nash-nash
di atas dengan tegas menujukan bahwa Allah berbicara kepada
Malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh malaikat.Jelas
bahwa Al-qur’an telah dituliskan di lauhul mahfuzh, berdasarkan firman
Allah Q.S. Al-Buruj ayat 21-22.
Artinya: Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang
mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.
Demikian
juga, Al-qur’an itu diturunkan sekaligus di Baitul ‘Izzah yang berada dilangit dunia pada malam Lailatul
Qadar di bulan Ramadhan.
Oleh sebab
itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa
al-qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:
1)
Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan
lafaznya yang khusus.
2) Jibril menghafalnya dari lauhil
mahfuzh.
3)
Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedangkan lafaznya dari
Jibril, atau Muhammad SAW.
Pendapat pertama yang dijadikan pegangan oleh ahlu sunnah
waljamaah. Penyandaran ini terdapat dalam firman Allah Q.S. al-Naml ayat 6.
Artinya: Dan
Sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al qur'an dari sisi (Allah) yang Maha
Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Ayat di atas menegaskan tentang Al-qur’an adalah kalam Allah
dengan lafaz-Nya bukan kalam Jibril atau Kalam Muhammad SAW.
Adapun
pendapat kedua di atas, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adannya Al-qur’an
di aluhil mahfuzh itu termasuk bersifat gaib, termasuk Al-Qur’an.
Sedangkan pendapat ketiga hampir sama dengan makna sunah.
Sebab sunah itu juga wahyu dari Allah SWT. Kepada Jibril, kemudian kepada Nabi
Muhammad SAW. Firman Allah dalam Q.S. al-Najm ayat 3- 4.
Artinya: Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Karenanya diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut
maknanya, sedangkan al-Qur’an tidak. Adapun diantara keistimewaan al-qur’an
adalah :
1)
Al-Qur’an adalah mu’jizat
2)
Kebenarannya bersifat mutlak
3)
Membacanya dianggap beribadah
4)
Wajib disampaikan lafazhnya, sedangkan hadits Qudsi tidak
demikian, sekalipun ada yang berpendapat juga diturunkan.
b.
Cara wahyu Allah
turun kepada para Rasul
Allah
memberikan wahyu kepada para Rasul atau Nabi-Nya secara rahasia dan sangat
cepat itu bervariasi. Dari variasi itu ada dua kelompok besar, yaitu: melalui
malaikat Jibril dan langsung tanpa perantara.ada
yang melalui perantaraan dan ada yang tidak memlalui perantaraan.
1)
Melalui perantaraan
malaikat pembawa wahyu.
Wahyu yang diturunkan dengan cara
ini dikenal ada dua, yaitu; Pertama, Jibril menampakan wajahnya atau
bentuknya dengan wajah asli. Cara seperti ini terjadi ketika
Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu yang pertama Q.S.
al-Alaq ayat 1-5
Kedua, Jibril menyamar seperti laki-laki
yang berjubah putih. Misalnya ketika Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu tentang
iman, Islam, Ihsan dan tanda-tanda kiamat.
2)
Tanpa
melalui perantara malaikat
a)
Melalui
mimpi yang
benar, misalnya ketika turun wahyu surah Al-kautsar ayat 1-3.
Artinya:
Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan
berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
b)
Allah
berbicara secara langsung
Ada pula yang menyatakan bahwa cara
ini adalah turunnya wahyu melalui balik hijab. Misalnya wahyu Allah kepada Nabi
Musa yang diceritakan dalam firman Allah pada Q.S. al-Anisa ayat
164.
Artinya: Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang
sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul
yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara
kepada Musa dengan langsung.
c)
Cara
lain adalah seperti gemerincing lonceng. Cara ini termasuk cara yang paling
berat dirasakan oleh Rasul. Firman Allah dalam Q.S. al-Muzammil ayat 5.
Artinya: Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan
yang berat.
3.
Bentuk-bentuk wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW
Nabi
Muhammad SAW. sebagai manusia biasa menerima bisikan dari Allah SWT. yang
disebut dengan wahyu. Bisikan itu berisi misi atau risalah ilahiah yang
disampaikan kepadanya melalui malaikat Jibril. Artinya, pewahyuan Al-qur’an
kepada Nabi menggambarkan terjadinya perjumpaan antara mahluk material
(jasmaniah), yaitu Nabi Muhammad dengan makhluk immaterial (ruhani), yaitu
Jibril. dan diterimanya interaksi antara makhluk jasadi dengan khaliq yang maha
tinggi.
Al-Qur’an
menyebutkan, ada tiga cara misi penyampaian misi ilahiah itu kepada Nabi
Muhammad SAW. yaitu melalui wahyu secara langsung secara langsung, pembicaraan
dibalik hijab, dan atau Allah mengirim seorang utusannya. Firman Allah dalam Q.S. al-Syuraa ayat 51.
Artinya: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah
berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau
dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan
seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha
Bijaksana.
Dari tiga cara penyampaian wahyu itu, dua di antaranya
langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW.
dan satu lainnya dari Malaikat Jibril. adapun yang langsung dari Allah kepada
nabi adalah melalui wahyu dan pembicaraan dibalik tabir.
Menurut al-Zarqani dalam kitab Mana>hil
al-Irfa>n,
sebagaimana dikutip oleh Kadar M. Yusuf menjelaskan bahwa wahyu adalah
pemberitahuan Allah kepada hamba pilihannya mengenai segala macam hidayah dan
ilmu yang ingin disampaikan dengan cara tersembunyi dan tidak terjadi pada
manusia biasa. Defenisi yang diungkapkan al-Zarqani lebih menggambarkan wahyu
sebagai cara Allah, secara langsung, menyampaikan hidayah dan ilmu kepada para Nabi-Nya
dengan membisikkan kedalam qalbu mereka hingga para nabi itu, tanpa belajar dan
membaca, mengetahui apa-apa yang tidak diketahui orang lain.
Firman Allah dalam Q.S. al-Nisa ayat 113.
Ÿ
Artinya: Sekiranya bukan
Karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka
berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan
melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun
kepadamu. dan (juga karena) Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu,
dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia
Allah sangat besar atasmu.
Pembicaraan di balik tabir adalah merupakan sa;ah satu cara
Allah menyampaikan risalah-Nya kepada Nabi. Nabi tidak melihat Allah tetapi dia
dapat menerima hidayah atau risalah itu, seperti yang telah dialami oleh nabi
Musa.
Sayyid Quthb dalam dalam Kadar M. Yusuf menjelaskan cara
lainnya adalah melalui perantaraan Malaikat. Hal ini meliputi beberapa cara,
yaitu:
1)
Malaikat menyampaikan kedalam hati Nabi, dimana Nabi tidak
melihatnya.
2)
Malaikat datang kepada Nabi seperti seorang laki-laki dan
lalu menyampaikan wahyu itu kepadanya.
3)
Malaikat datang kepada Nabi seperti bunyi bel. Hal ini
sangat susah bagi Nabi (Asyadd alayh) , sehingga Nabi berkeringat
walaupun pada saat cuaca sangat dingin.
4)
Malaikat datang kepada Nabi dalam bentuk aslinya sebagai
malaikat. Kemudian ia menyampaikan wahyu itu kepada Rasulullah sesuai dengan
apa-apa yang Allah kehendaki.
Walaupun Nabi itu seorang manusia biasa, tetapi dia dapat
berjumpa dengan malaikat Jibril. dan dia dapat pula menerima bisikan atau
pengajaran dari Allah, karena Nabi telah dipersiapkan untuk itu.
4.
Hadist
Qudsi
Yang dimaksud dengan Hadist Qudsi ialah:
ما أخبر الله نبيه بالاهام أو بالمنام فأخبر النبي ص.م. ذالك
المعني بعبارة نفسه
Artinya: “Sesuatu yang dikhabarkan Allah
Ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melakukan ilham
atau impian yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian itu
dengan ungkapan kata beliau sendiri”
Hadist mempunyai beberapa sinonim, menurut para pakar ilmu hadist
yaitu sunnah, khabar, dan atsar.
Dan hadist menurut istilah adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang
berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, dan sifat. Qudsi di dalam Kamus al
Munawwir artinya suci. Dinamakan qudsi karena ia bersumber dari Allah yang maha
suci.
Kata qudsi sekalipun diartikan suci
hanya merupakan sifat bagi hadist. Jadi hadist qudsi adalah segala ucapan yang
nabi sandarkan kepada Allah dan menceritakanya dari-Nya. Dalam kata lain adalah
sesuatu yang dikehendaki Allah untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui
ilham atau mimpi, kemudian nabi SAW menyampaikan kepada umatnya menurut susunan
bahasanya sendiri dengan menyandarkanya kepada Allah SWT. Dan hadist qudsi sering
disebut juga hadist rabbani atau hadist ilahi.
Hadits Qudsi
mempunyai tanda-tanda tertentu, yakni berupa kata-kata seperti :
قال الله تعالي…
يقول الله عز وجل…
قال رسول الله ص.م. فيما يرويه عن
الله تبارك وتعالي…
Jumlah
Hadits Qudsi tidak banyak. Di antara Ulama ada yang menyatakan bahwa Jumlah
Hadits Qudsi sekitar ada sekitar 100
buah. Menurut Al-‘Allamah Syihabuddin Ibnu Aliy Al-Mannawy yang telah
mengunpulkan Hadits Qudsi dalam kitabnya “Al-Ithafatu As-Saniyyah bil
Ahâdîts al-Qudsiyyah” .
Apabila
diperhatikan tentang tanda-tanda Hadits Qudsi, maka dapatlah dipahami bahwa
dalam hadits itu terkandung firman Allah. Akan tetapi hal ini tidaklah berarti,
bahwa Hadits Qudsi itu sama dengan al-Qur’an.
Perbedaan
Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an ialah sbb:
a.
Semua lafadz-lafadz (ayat-ayat) yang terdapat dalam Al-Qur’an,,
adalah mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir. Sedang Hadits Qudsi tidak
demikian.
b.
Al-Qur’an adalah wahyu yang lafadz dan maknanya berasal dari
Allah, sedang Hadits Qudsi merupakan wahyu dari Allah, tetapi oleh Rasul
diberitakan dengan kata-kata beliau sendiri. Jadi Hadits Qudsi adalah maknanya
berasal dari Allah tetapi
lafadznya dari Rasul
c.
Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada
Muhammad dengan perantaraan Jibril, sedang Hadits Qudsi, merupakan wahyu Allah
yang diturunkan langsung kepada Nabi Muhammad dengan cara ilham atau impian.
d.
Di dalam bacaan shalat, ada yang berupa bacaan ayat-ayat
al-Qur’an, sedang untuk Hadits Qudsi tidak dapat menggantikan kedudukan bacaan
ayat-ayat Al-Quran yang dibaca dalam shalat tersebut.
e.
Untuk meriwayatkan ayat-ayat Al-Qur’an, tidak boleh hanya
dengan maknanya saja atau dengan kata-kata sinonim, sedang untuk periwayatan
Hadits Qudsi tidak berlaku ketentuan yang seketat itu.
f.
Setiap huruf yang dibaca dari ayat-ayat Al-Qur’an memberikan
hak kepada yang membacanya pahala sepuluh kebajikan, sedang untuk pembacaan
Hadits Qudsi tidak ada ketentuan yang
menetapkan demikian.
g.
Bagian-bagian dari Al-Qur’an ada yang disebut Juz, Surah dan
Ayat, sedang untuk Hadits Qudsi tidak mengenal bagian yang demikian.
Contoh hadits qudsi:
عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ الله قَالَ : قَالَ الله عَزَّ
وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلٍ
ابْنُ
أَدَمَ لَهُ أِلاَّ الصِّيَامَ فَاِنَّهُ لِي وَاِنَّ الَّذِي أَجْزِي بِهِ
وِالصِّيامُ جُنَّة وَاِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمٍ
أَحَدُكُمْ فَلَا يَرْنُتْ وَلَا يَصْخَبْ
وَاِنْ سَابََهُ أَحَدٌ أَْو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ أِنِّي امْرُؤٌ صَائِمُ
)رواه الشيخان والنساء وابن حبان(
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. bahwa
Rasulullah bersabda: Telah berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: amal anak Adam
adalah menyangkut dirinya pribadi, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu
untuk-Ku, dan karena itu Akulah yang langsung membalasnya. Puasa itu ibarat perisai,
pada hari melaksanakan puasa, janganlah yang berpuasa mengucapkan kata-kata
kotor, tidak sopan dan tidak enak didengar dan jangan pula bertengkar. Jika
diantara kalian ada yang memakinya atau mengaja bereklahi, hendaklah
katakankanlah kepadanya:”saya sedang berpuasa………..”
5. Hadist Nabawi
Hadist
(baru) dalam arti bahasa adalah lawan dari kata qadim (lama). Dan yang dimaksud
hadist adalah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan
oleh manusia baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya atau wahyu,
baik dalam keadaan jaga maupun dalam keadaan tidur.Dalam
pengertian ini qur’an juga dinamai hadist.
ô`tBur… ä-y‰ô¹r& z`ÏB «!$# $ZVƒÏ‰tn ÇÑÐÈ
Artinya: Hadist
(kata-kata)siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?
Sedangkan menurut istilah pengertian
hadist adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat.
Hadist yang berupa perkataan Nabi
SAW:
انما الاعمال
باالنيات, وانما لكل امرىء مانوى (رواه البخارى)
Artinya: Sesungguhnya sahnya amal
itu disertai dengan niatnya. dan setiap orang bergantung pada niatnya.
Yang
berupa perbuatan Nabi SAW
صلوا كما رايتمونى اصلى (رواه البخارى)
Artinya: Shalatlah seperti kamu melihat aku
shalat.
Sedang yang berupa persetujuan ialah
seperti ia menyetujui sutu perkara yang dilakukan oleh seorang sahabat , baik
perkataan maupun perbuatan, dilkukan dihadapan Nabi atau tidak, tetapi
beritanya sampai kepadanya. Misal mengenai makanan biawak yang dihidangkan
kepadanya, dan kemudian persetujuannya dalam riwayat Nabi mengutus orang dalam
sebuah peperangan. Orang itu membaca bacaan dalam sholat yang diakhiri dengan qul
huwallahu ah}ad. Setelah pulang mereka menampaikannya kepada
Nabi, lalu kata Nabi:”tanyakan mengapa dia berbuat demikian”, merekapun
menanyakanya. Dan orang itu menjawabnya: “Kalimat itu adalah sifat Allah dan
aku senang membacanya”. Maka jawab Nabi:
اخبروه ان الله
يحبه (رواه البخارى و
مسلم)
Artinya: “Katakan kepadanya bahwa
Allahpun menyenangi dia.
Dan yang berupa sifat adalah riwayat
seperti, “Bahwa Nabi SAW itu selalu bermuka cerah, berperangai halus dan
lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak
pula berbicara kotor dan juga tidak suka mencela.
Nabawi
adalah hadits yang isi dan redaksinya semata-mata merupakan otoritas Nabi
Muhammad saw. Yang demikian itu tentunya jika merupakan hadits shahih, dan jika
tidak maka tidak. Ungkapan tentang hadits nabawi (الحديث النبويّ) mempunyai
arti hadits yang bernisbat pada nabi, yakni berupa khabar tentang ucapan,
perbuatan, keputusan atau ketetapan, dan sifat yang datang dari nabi, baik isi
maupun redaksinya. Hadits Nabawi inilah yang menjadi obyek kajian dalam buku
ini. Ketentuan dan sifat-sifatnya sangat kompleks hingga menuntut para
pengkajinya untuk bersungguh-sungguh.
Perbedaan
hadist qudsi dengan hadist nabawi:
Hadis nabawi itu ada dua macam, yaitu:
a.
Tauqifi
Yang bersifat
tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu
ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun
kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih
dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang
mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak
lain.
b.
Taufiqi
Yang bersifat
taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya
terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau
menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang
bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika terdapat
kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah
kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadist nabawi dengan kedua bagiannya
yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber
dari wahyu. Dan inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad SAW
didalam surat an-Najm ayat 3-4
Artinya: Dan
tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa
nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Hadist
qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui
salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah SAW, inilah
pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadist qudsi kepada Allah SWT adalah nisbah
mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya hadist qudsi
itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadist qudsi
dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta
membacanya pun diangggap ibadah. Sedangkan hadist Nabawi adalah hadits yang makna maupun
lafalnya berasal dari Nabi Muhammad Rasulullah SAW sendiri.
6. Perbedaan Hadist Qudsi, Hadist Nabawi dan Al-Qur’an
Perbedaan dilihat
dari 4 segi yaitu segi bahasa dan makna, periwayatan, kemukjizatan, dan nilai
membacanya.
a.
Perbedaan dari segi bahasa dan makna adalah
sebagai berikut:
1)
Al-Qur’an bahasa dan maknanya langsung dari
Allah SWT.
2)
Hadis Qudsi maknanya dari Allah SWT. Bahasanya
dari Nabi SAW.
3)
Hadis Nabawi bahasa dan maknanya dari Nabi SAW.
b.
Perbedaan dari segi periwayatan adalah sebagai
berikut:
1)
Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan
maknanya saja.
2)
Sedangkan selain Al-Qur’an boleh.
c.
Perbedaan dari segi kemukjizatan adalah sebagai
berikut:
1)
Al-Qur’an baik lafal dan maknanya merupakan
mukjizat.
2)
Hadist Qudsi dan Hadist Nabawi bukan merupakan
mukjizat.
d.
Perbedaan dari segi nilai membacanya adalah
sebagai berikut:
1)
Al-Qur’an diperintahkan untuk dibaca, baik pada
waktu shalat maupun di luarnya sebagai ibadah, baik orang yang membacanya itu
mengerti maksudnya atau tidak.
2)
Hadist Qudsi dan Nabawi dilarang dibaca ketika
shalat dan membacanya tidak bernilai ibadah. Yang terpenting dalam hadist
adalah untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan.
7. Persamaan Hadist Qudsi, Hadist Nabawi dan Al-Qur’an
Persamaan
hadist qudsi, hadist nabawi dan al-Quran
adalah bahwa semuanya keluar dari antara dua bibir, maksudnya mulut-
Nabi Muhammad SAW. Dan semuanya mengandung anwar (cahaya-cahaya) dari anwarnya
Nabi Muhammad SAW dan semua yang Nabi SAW katakan adalah wahyu.
C.
Kesimpulan
Secara Etimologi Wahyu adalah ialah pemberitahuan secara
tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa
diketahui orang lain, sedangkan menurut syara wahyu sebagai pengetahuan
dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan pengetahuan itu datang dari Allah,
baik dengan melalui perantara ataupun tidak; yang pertama melalui suara yang
terjelma dalam telinganya ataupun tanpa
suara sama sekali.
Cara turunnya wahyu kepada malaikat
dapat berupa kalam Allah langsung kepada malaikat tanpa perantaraan dengan
kalam yang telah dipahami oleh malaikat, wahyu yang turun kepada para rasul
melalui perantaraan malaikat pembawa wahyu
dan secara langsug dapat berupa; a). diantaranya melalui mimpi yang benar,
b). Allah berbicara secara langsung, c).
Cara lain adalah seperti gemerincing lonceng.
Hadist
Qudsi ialah:
ما أخبر الله نبيه بالاهام أو بالمنام فأخبر النبي ص.م. ذالك
المعني بعبارة نفسه
Artinya: “Sesuatu yang dikhabarkan Allah
Ta’ala kepada Nabi-Nya dengan melakukan
ilham atau impian yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian
itu dengan ungkapan kata beliau sendiri”
Sedangkan menurut istilah pengertian hadist
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan,
perbuatan, persetujuan atau sifat.
Dari penjelasan makalah diatas dapat diagaris
bawahi bahwa antara hadist qudsi, hadist nabawi dan al-Qur’an memilii perbedan
dan persamaan. Wahyu dalam hal ini juga memiliki kaitan yang erat bahkan dari
semua yang dikatakan Nabi Muhammad SAW adalah wahyu.
DAFTAR PUSTAKA