menu melayang

TESTIMONI

Testimoni



ALAMAT

Kontak



Alamat Kantor Kami


  • Ds Bodas Pakembaran RT 02/03, Warungpring, Pemalang, Jawa Tengah. Indonesia
  • Jam Kerja: 08.00 - 17.00 WIB
  • Kontak : 081914958020

Selasa, 08 Oktober 2013

Makalah, wahyu hadits qudsi dan nabawi

WAHYU, HADIST QUDSI DAN HADIST NABAWI

A.    Pendahuluan
Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat dalam hubunganya dengan ilmu pengetahuan adalah mendorong umat manusia untuk mempergunakan akal pikirannya serta menambahkan ilmu pengetahuannya sebisa mungkin.[1] Kemudian juga menjadikan observasi atas alam semesta untuk percaya kepada yang setiap penemuan baru.
Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama dan utama dalam ajaran agama Islam tentunya menempati posisi yang signifikan. Mengingat posisinya yang signifikan itu maka diperlukan adanya pemahaman yang komprehensif terkait dengan eksistensi al-Qur’an. Selain al-Qur’an, setiap muslim juga mengenal adanya sumber hokum yang kedua yakni Hadist atau Sunnah, baik Hadist Qudsi maupun Hadist Nabawi.
Keduanya menjadi sumber hukum Islam yang diyakini dan dipedomani oleh seluruh umat muslim. Keduanya memiliki perbedaan-perbedaan. Perbedaan di antara keduanya harus diketahui oleh setiap muslim sebagai landasan awal dalam memahami keduanya lebih lanjut. Pemahaman yang baik terhadap keduanya akan mempengaruhi kualitas ibadah dari setiap muslim.
Kemudian wahyu sebagai isyarat yang diberikan kepada manusia, maka harus diyakini bahwa wahyu hanya datang dari sang khalik yaitu Allah SWT. kepada manusia-manusia pilihan-Nya. Sesuai kodratnya manusia hanya mampu menerima wahyu itu dengan bentuk, kondisi dan keadaan tertentu.
Percaya kepada wahyu yang diturunkan Allah SWT. berarti tidak hanya percaya kepada Al-Qur’an saja. Tetapi percaya kepada segala wahyu yang diturunkan wahyu sebelumnya. Berdasarkan ayat di atas bahwa setiap zaman sebelum Nabi Muhammad SAW. mempunyai nabi atau rasul yang membawa wahyu dari Allah SWT. setiap nabi atau rasul menerima wahyu dengan keadaan dan situasi berbeda adakalanya melalui perantaraan Malaikat Jibril, melalui mimpi, atau langsung diterima dari Allah SWT.
Makalah ini mencoba memberi batasan tertentu mengenai  wahyu, hadistt qudsi, hadistt nabawi, sehingga kita semua memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai ketiga hal tersebut.
B.     Pembahasan
1.      Pengertian Wahyu
Secara kebahasaan, wahyu memiliki banyak arti yang berbeda-beda. Diantaranya adalah: isyarat, tulisan, risalah, pesan, perkataan yang terselubung, pemberitahuan, secara bergegas yang disampaikan kepada  orang lain.[2] Dikatakan wah}aitu ilaih atau auh}aitu. Kalimat ini digunakan jika orang lain tingan ingin mendengarnya. Wahyu mengandung makna isyarat yang cepat. itu terjadi biasanya melalui pembicaraan melalui simbol, terkadang melalui suara semata, dan terkadang juga melalui isyarat sebagian anggota badan.  
Al-Wah}y  atau kata wahyu adalah kata masdar (infinitif dan materi kata itu menunjukan dua pengertian dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, bahwa dikatakan wahyu adalah ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain. Inilah pengertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang dimaksud adalah al-mu>h}a> yaitu pengertian isim maf’ul yang diwahyukan. Pengertian wahyu dalam al-Qur’an meliputi beberapa arti yaitu:
a.       Isyarat secara rahasia. Ini adalah pemaknaan wahyu secara kebahasaan. Sebagaimana yang dimaktubkan dalam al-Qur’an berkenaan dengan Nabi Zakaria, firman Allah Q.S. Maryam ayat 11.

Artinya: Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu pagi dan petang.
b.      Petunjuk naluriah, yaitu petunjuk yang bersifat naluriah yang ada dalam diri semua makhluk. Baik itu manusia atau hewan secara inting mengetahui jalan keabadian dan keberlangsungan hidupnya. Seperti wahyu Allah SWT kepada lebah. firman Allah Q.S. al-Nahl ayat 68.

Artinya:  Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”.
c.       Ilham (bisikan gaib): kadangkala manusia menerima pesan tetapi tidak mengetahui dari mana pesan itu berasal.  Biasanya pesan ini muncul dalam kondisi terdesak, ketika dia telah menapaki jalan buntu. Tiba-tiba, muncul pancaran dari hati yang memberitahu adanya jalan terang dan harapan untuk terbebas dari kesulitan. Sebagaimana seperti wahyu kepada ibunda Musa as. Firman Allah SWT. QS. Al-Qashash ayat  7.

Artinya: Dan kami ilhamkan kepada ibu Musa; "Susuilah Dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya Maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, Karena Sesungguhnya kami akan mengembalikannya kepadamu, dan men- jadikannya (salah seorang) dari para rasul.

d.      Berarti bisikan, janggal bahkan tidak tepat bila dikatakan setan memberi wahyu. Tetapi dalam Allah menggunakan kata yu>hi> untuk setan yang berbentuk jin dan setan berbentuk manusia.[3] Firman Allah dalam Q.S. al-An’am ayat 112.
Artinya: Dan Demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
e.       Lafaz “Wahyu” juga digunakan untuk menyebutkan firman  Allah SWT. Yang berupa perintah kepada para Malaikat supaya mereka melaksanakan tugas seketika itu juga. Firman Allah SWT. dalam Q.S. al-Anfal ayat 12.-
Artinya: (Ingatlah), ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku bersama kamu, Maka teguhkan (pendirian) orang-orang yang Telah beriman". kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, Maka penggallah kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.

Sedangkan wahyu Allah SWT. kepada para nabi secara syara mereka didefinisikan sebagai “ kalam Allah yang diturunkan kepada seorang nabi”,. Definisi ini menggunakan kata maf’ul yaitu al-muha. Muhammad Abduh dalam kitab Risalatut tauhid  sebagaimana dikutip oleh Manna>>‘ Khali>l  al-Qat}t}a>n  menjelaskan bahwa wahyu sebagai pengetahuan dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantara ataupun tidak; yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya  ataupun tanpa suara sama sekali. Beda antara wahyu dengan ilham adalah bahwa ilham itu intuisi yang diyakini jiwa sehingga terdorong untuk mengikuti apa yang diminta, tanpa mengetahui dari mana datangnya. Hal seperti itu serupa dengan perasaaan lapar, haus, sedih dan senang.[4]
Definisi di atas adalah pengertian masdar wahyu. Bagian awal definisi ini mengesankan adanya kemiripan antara wahyu dengan suara hati atau kasyaf, tetapi perbedaannya dengan ilham diakhir defenisi meniadakan hal ini.

2.      Bagaimana Wahyu itu Turun
a.       Cara wahyu Allah Turun kepada para Malaikat
Dalam Al-Qur’an al-Karim terdapat nash mengenai kalam Allah kepada Malaikat-Nya. Sebagaiman firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah ayat 31.

Artinya: Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Ada juga nash al-Qur’an tentang para malaikat yang mengurus urusan dunia menurut perintah-Nya. Allah berfirman dalam Q.S. an-Naziat ayat 5.

Artinya: Dan (Malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia).
Nash-nash di atas dengan tegas menujukan bahwa Allah berbicara kepada Malaikat tanpa perantaraan dan dengan pembicaraan yang dipahami oleh malaikat.Jelas bahwa Al-qur’an telah dituliskan di lauhul mahfuzh, berdasarkan firman Allah Q.S. Al-Buruj ayat 21-22.

Artinya: Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Quran yang mulia, Yang (tersimpan) dalam Lauh Mahfuzh.

Demikian juga, Al-qur’an itu diturunkan sekaligus di Baitul ‘Izzah  yang berada dilangit dunia pada malam Lailatul Qadar  di bulan Ramadhan.
Oleh sebab itu, para ulama berpendapat mengenai cara turunnya wahyu Allah yang berupa al-qur’an kepada Jibril dengan beberapa pendapat:
1)      Jibril menerimanya secara pendengaran dari Allah dengan lafaznya yang khusus.
2)      Jibril menghafalnya dari lauhil mahfuzh.
3)      Maknanya disampaikan kepada Jibril, sedangkan lafaznya dari Jibril, atau Muhammad SAW. [5]
Pendapat pertama yang dijadikan pegangan oleh ahlu sunnah waljamaah. Penyandaran ini terdapat dalam firman Allah Q.S. al-Naml ayat 6.

Artinya: Dan Sesungguhnya kamu benar-benar diberi Al qur'an dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Ayat di atas menegaskan tentang Al-qur’an adalah kalam Allah dengan lafaz-Nya bukan kalam Jibril atau Kalam Muhammad SAW.
Adapun pendapat kedua di atas, tidak dapat dijadikan pegangan, sebab adannya Al-qur’an di aluhil mahfuzh itu termasuk bersifat gaib, termasuk Al-Qur’an.
Sedangkan pendapat ketiga hampir sama dengan makna sunah. Sebab sunah itu juga wahyu dari Allah SWT. Kepada Jibril, kemudian kepada Nabi Muhammad SAW. Firman Allah dalam Q.S. al-Najm ayat 3- 4.
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Karenanya diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut maknanya, sedangkan al-Qur’an tidak. Adapun diantara keistimewaan al-qur’an adalah :
1)      Al-Qur’an adalah mu’jizat
2)      Kebenarannya bersifat mutlak
3)      Membacanya dianggap beribadah
4)      Wajib disampaikan lafazhnya, sedangkan hadits Qudsi tidak demikian, sekalipun ada yang berpendapat juga diturunkan. [6]
b.      Cara wahyu Allah turun kepada para Rasul
Allah memberikan wahyu kepada para Rasul atau Nabi-Nya secara rahasia dan sangat cepat itu bervariasi. Dari variasi itu ada dua kelompok besar, yaitu: melalui malaikat Jibril dan langsung tanpa perantara.[7]ada yang melalui perantaraan dan ada yang tidak memlalui perantaraan.
1)      Melalui perantaraan  malaikat pembawa wahyu.
Wahyu yang diturunkan dengan cara ini dikenal ada dua, yaitu; Pertama, Jibril menampakan wajahnya atau bentuknya dengan wajah asli. Cara seperti ini terjadi ketika Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu yang pertama Q.S. al-Alaq ayat 1-5
Kedua, Jibril menyamar seperti laki-laki yang berjubah putih. Misalnya ketika Nabi Muhammad SAW. menerima wahyu tentang iman, Islam, Ihsan dan tanda-tanda kiamat.
2)      Tanpa melalui perantara malaikat
a)      Melalui mimpi yang benar, misalnya ketika turun wahyu surah Al-kautsar  ayat 1-3.
Artinya: Sesungguhnya kami Telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.  Maka Dirikanlah shalat Karena Tuhanmu; dan berkorbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus.
b)      Allah berbicara secara langsung
Ada pula yang menyatakan bahwa cara ini adalah turunnya wahyu melalui balik hijab. Misalnya wahyu Allah kepada Nabi Musa yang diceritakan dalam firman Allah pada Q.S. al-Anisa ayat 164.
Artinya:  Dan (Kami Telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh Telah kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak kami kisahkan tentang mereka kepadamu. dan Allah Telah berbicara kepada Musa dengan langsung.
c)      Cara lain adalah seperti gemerincing lonceng. Cara ini termasuk cara yang paling berat dirasakan oleh Rasul. Firman Allah dalam Q.S. al-Muzammil ayat 5.
Artinya: Sesungguhnya kami akan menurunkan kapadamu perkataan yang berat.


3.      Bentuk-bentuk wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW
Nabi Muhammad SAW. sebagai manusia biasa menerima bisikan dari Allah SWT. yang disebut dengan wahyu. Bisikan itu berisi misi atau risalah ilahiah yang disampaikan kepadanya melalui malaikat Jibril. Artinya, pewahyuan Al-qur’an kepada Nabi menggambarkan terjadinya perjumpaan antara mahluk material (jasmaniah), yaitu Nabi Muhammad dengan makhluk immaterial (ruhani), yaitu Jibril. dan diterimanya interaksi antara makhluk jasadi dengan khaliq yang maha tinggi.[8]
Al-Qur’an menyebutkan, ada tiga cara misi penyampaian misi ilahiah itu kepada Nabi Muhammad SAW. yaitu melalui wahyu secara langsung secara langsung, pembicaraan dibalik hijab, dan atau Allah mengirim seorang utusannya. Firman Allah dalam Q.S. al-Syuraa ayat 51.

Artinya: Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Dari tiga cara penyampaian wahyu itu, dua di antaranya langsung dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW. dan satu lainnya dari Malaikat Jibril. adapun yang langsung dari Allah kepada nabi adalah melalui wahyu dan pembicaraan dibalik tabir.
Menurut al-Zarqani dalam kitab Mana>hil al-Irfa>n, sebagaimana dikutip oleh Kadar M. Yusuf menjelaskan bahwa wahyu adalah pemberitahuan Allah kepada hamba pilihannya mengenai segala macam hidayah dan ilmu yang ingin disampaikan dengan cara tersembunyi dan tidak terjadi pada manusia biasa. Defenisi yang diungkapkan al-Zarqani lebih menggambarkan wahyu sebagai cara Allah, secara langsung, menyampaikan hidayah dan ilmu kepada para Nabi-Nya dengan membisikkan kedalam qalbu mereka hingga para nabi itu, tanpa belajar dan membaca, mengetahui apa-apa yang tidak diketahui orang lain.[9] Firman Allah dalam Q.S. al-Nisa ayat 113.
Ÿ
Artinya:  Sekiranya bukan Karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. dan (juga karena) Allah Telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan Telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu.

Pembicaraan di balik tabir adalah merupakan sa;ah satu cara Allah menyampaikan risalah-Nya kepada Nabi. Nabi tidak melihat Allah tetapi dia dapat menerima hidayah atau risalah itu, seperti yang telah dialami oleh nabi Musa.
Sayyid Quthb dalam dalam Kadar M. Yusuf menjelaskan cara lainnya adalah melalui perantaraan Malaikat. Hal ini meliputi beberapa cara, yaitu:
1)      Malaikat menyampaikan kedalam hati Nabi, dimana Nabi tidak melihatnya.
2)      Malaikat datang kepada Nabi seperti seorang laki-laki dan lalu menyampaikan wahyu itu kepadanya.
3)      Malaikat datang kepada Nabi seperti bunyi bel. Hal ini sangat susah bagi Nabi (Asyadd alayh) , sehingga Nabi berkeringat walaupun pada saat cuaca sangat dingin.
4)      Malaikat datang kepada Nabi dalam bentuk aslinya sebagai malaikat. Kemudian ia menyampaikan wahyu itu kepada Rasulullah sesuai dengan apa-apa yang Allah kehendaki.
Walaupun Nabi itu seorang manusia biasa, tetapi dia dapat berjumpa dengan malaikat Jibril. dan dia dapat pula menerima bisikan atau pengajaran dari Allah, karena Nabi telah dipersiapkan untuk itu.
4.      Hadist Qudsi
           Yang dimaksud dengan Hadist Qudsi ialah:
ما أخبر الله نبيه بالاهام أو بالمنام فأخبر النبي ص.م. ذالك المعني بعبارة نفسه
Artinya: “Sesuatu yang dikhabarkan Allah Ta’ala kepada  Nabi-Nya dengan melakukan ilham atau impian yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian itu dengan ungkapan kata beliau sendiri”
           Hadist mempunyai beberapa sinonim, menurut para pakar ilmu hadist yaitu sunnah, khabar, dan atsar.[10] Dan hadist menurut istilah adalah sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi SAW yang berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, dan sifat. Qudsi di dalam Kamus al Munawwir artinya suci. Dinamakan qudsi karena ia bersumber dari Allah yang maha suci.
Kata qudsi sekalipun diartikan suci hanya merupakan sifat bagi hadist. Jadi hadist qudsi adalah segala ucapan yang nabi sandarkan kepada Allah dan menceritakanya dari-Nya. Dalam kata lain adalah sesuatu yang dikehendaki Allah untuk disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, melalui ilham atau mimpi, kemudian nabi SAW menyampaikan kepada umatnya menurut susunan bahasanya sendiri dengan menyandarkanya kepada Allah SWT. Dan hadist qudsi sering disebut juga hadist rabbani atau hadist ilahi.[11]
Hadits Qudsi mempunyai tanda-tanda tertentu, yakni berupa kata-kata seperti :
قال الله تعالي
يقول الله عز وجل
قال رسول الله ص.م. فيما يرويه عن الله تبارك وتعالي
           
Jumlah Hadits Qudsi tidak banyak. Di antara Ulama ada yang menyatakan bahwa Jumlah Hadits  Qudsi sekitar ada sekitar 100 buah. Menurut Al-‘Allamah Syihabuddin Ibnu Aliy Al-Mannawy yang telah mengunpulkan Hadits Qudsi dalam kitabnya “Al-Ithafatu As-Saniyyah bil Ahâdîts al-Qudsiyyah” .
Apabila diperhatikan tentang tanda-tanda Hadits Qudsi, maka dapatlah dipahami bahwa dalam hadits itu terkandung firman Allah. Akan tetapi hal ini tidaklah berarti, bahwa Hadits Qudsi itu sama dengan al-Qur’an.
Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an ialah sbb:
a.       Semua lafadz-lafadz (ayat-ayat) yang terdapat dalam Al-Qur’an,, adalah mu’jizat dan diriwayatkan secara mutawatir. Sedang Hadits Qudsi tidak demikian.
b.      Al-Qur’an adalah wahyu yang lafadz dan maknanya berasal dari Allah, sedang Hadits Qudsi merupakan wahyu dari Allah, tetapi oleh Rasul diberitakan dengan kata-kata beliau sendiri. Jadi Hadits Qudsi adalah maknanya berasal dari Allah tetapi lafadznya dari Rasul
c.       Al-Qur’an merupakan wahyu Allah yang diturunkan kepada Muhammad dengan perantaraan Jibril, sedang Hadits Qudsi, merupakan wahyu Allah yang diturunkan langsung kepada Nabi Muhammad dengan cara ilham atau impian.
d.      Di dalam bacaan shalat, ada yang berupa bacaan ayat-ayat al-Qur’an, sedang untuk Hadits Qudsi tidak dapat menggantikan kedudukan bacaan ayat-ayat Al-Quran yang dibaca dalam shalat tersebut.
e.       Untuk meriwayatkan ayat-ayat Al-Qur’an, tidak boleh hanya dengan maknanya saja atau dengan kata-kata sinonim, sedang untuk periwayatan Hadits Qudsi tidak berlaku ketentuan yang seketat itu.
f.       Setiap huruf yang dibaca dari ayat-ayat Al-Qur’an memberikan hak kepada yang membacanya pahala sepuluh kebajikan, sedang untuk pembacaan Hadits Qudsi tidak ada ketentuan  yang menetapkan demikian.
g.      Bagian-bagian dari Al-Qur’an ada yang disebut Juz, Surah dan Ayat, sedang untuk Hadits Qudsi tidak mengenal bagian yang demikian.
Contoh hadits qudsi:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ الله عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلُ الله قَالَ : قَالَ الله عَزَّ وَجَلَّ: كُلُّ عَمَلٍ
ابْنُ أَدَمَ لَهُ أِلاَّ الصِّيَامَ فَاِنَّهُ لِي وَاِنَّ الَّذِي أَجْزِي بِهِ وِالصِّيامُ جُنَّة وَاِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمٍ
 أَحَدُكُمْ فَلَا يَرْنُتْ وَلَا يَصْخَبْ وَاِنْ سَابََهُ أَحَدٌ أَْو قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ أِنِّي امْرُؤٌ صَائِمُ
)رواه الشيخان والنساء وابن حبان(
Artinya: Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah bersabda: Telah berfirman Allah ‘Azza wa Jalla: amal anak Adam adalah menyangkut dirinya pribadi, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku, dan karena itu Akulah yang langsung membalasnya. Puasa itu ibarat perisai, pada hari melaksanakan puasa, janganlah yang berpuasa mengucapkan kata-kata kotor, tidak sopan dan tidak enak didengar dan jangan pula bertengkar. Jika diantara kalian ada yang memakinya atau mengaja bereklahi, hendaklah katakankanlah kepadanya:”saya sedang berpuasa………..”
5.    Hadist Nabawi          
           Hadist (baru) dalam arti bahasa adalah lawan dari kata qadim (lama). Dan yang dimaksud hadist adalah setiap kata-kata yang diucapkan dan dinukil serta disampaikan oleh manusia baik kata-kata itu diperoleh melalui pendengarannya atau wahyu, baik dalam keadaan jaga maupun dalam keadaan tidur.[12]Dalam pengertian ini qur’an juga dinamai hadist.
ô`tBur ä-yô¹r& z`ÏB «!$# $ZVƒÏtn ÇÑÐÈ
Artinya: Hadist (kata-kata)siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) dari pada Allah ?
           Sedangkan menurut istilah pengertian hadist adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat.
           Hadist yang berupa perkataan Nabi SAW:
انما الاعمال باالنيات, وانما لكل امرىء مانوى (رواه البخارى)
Artinya: Sesungguhnya sahnya amal itu disertai dengan niatnya. dan setiap orang bergantung pada niatnya.          

           Yang berupa perbuatan Nabi SAW
صلوا كما رايتمونى اصلى (رواه البخارى)
Artinya: Shalatlah seperti kamu melihat aku shalat.
           Sedang yang berupa persetujuan ialah seperti ia menyetujui sutu perkara yang dilakukan oleh seorang sahabat , baik perkataan maupun perbuatan, dilkukan dihadapan Nabi atau tidak, tetapi beritanya sampai kepadanya. Misal mengenai makanan biawak yang dihidangkan kepadanya, dan kemudian persetujuannya dalam riwayat Nabi mengutus orang dalam sebuah peperangan. Orang itu membaca bacaan dalam sholat yang diakhiri dengan qul huwallahu ah}ad. Setelah pulang mereka menampaikannya kepada Nabi, lalu kata Nabi:”tanyakan mengapa dia berbuat demikian”, merekapun menanyakanya. Dan orang itu menjawabnya: “Kalimat itu adalah sifat Allah dan aku senang membacanya”. Maka jawab Nabi:
اخبروه ان الله يحبه  (رواه البخارى و مسلم)
Artinya: “Katakan kepadanya bahwa Allahpun menyenangi dia.
Dan yang berupa sifat adalah riwayat seperti, “Bahwa Nabi SAW itu selalu bermuka cerah, berperangai halus dan lembut, tidak keras dan tidak pula kasar, tidak suka berteriak keras, tidak pula berbicara kotor dan juga tidak suka mencela.
           Nabawi adalah hadits yang isi dan redaksinya semata-mata merupakan otoritas Nabi Muhammad saw. Yang demikian itu tentunya jika merupakan hadits shahih, dan jika tidak maka tidak. Ungkapan tentang hadits nabawi (الحديث النبويّ) mempunyai arti hadits yang bernisbat pada nabi, yakni berupa khabar tentang ucapan, perbuatan, keputusan atau ketetapan, dan sifat yang datang dari nabi, baik isi maupun redaksinya. Hadits Nabawi inilah yang menjadi obyek kajian dalam buku ini. Ketentuan dan sifat-sifatnya sangat kompleks hingga menuntut para pengkajinya untuk bersungguh-sungguh.[13]
           Perbedaan hadist qudsi dengan hadist nabawi:
Hadis nabawi itu ada dua macam, yaitu:
a.       Tauqifi
Yang bersifat tauqifi yaitu yang kandungannya diterima oleh Rasulullah SAW dari wahyu, lalu ia menjelaskan kepada manusia dengan kata-katanya sendiri. Bagian ini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi dari segi pembicaraan lebih dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, sebab kata-kata itu dinisbahkan kepada yang mengatakannya, meskipun di dalamnya terdapat makna yang diterima dari pihak lain.
b.      Taufiqi
Yang bersifat taufiqi yaitu: yang disimpulkan oleh Rasulullah SAW menurut pemahamannya terhadap Quran, karena ia mempunyai tugas menjelaskan Quran atau menyimpulkannya dengan pertimbangan dan ijtihad. Bagian kesimpulannyang bersifat ijtihad ini, diperkuat oleh wahyu jika ia benar, dan jika terdapat kesalahan didalamnya, maka turunlah wahyu yang membetulkannya. Bagian ini bukanlah kalam Allah secara pasti.
Dari sini jelaslah bahwa hadist nabawi dengan kedua bagiannya yang tauqifi dan taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu bersumber dari wahyu. Dan inilah makna dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad SAW didalam surat an-Najm ayat 3-4 
Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
           Hadist qudsi itu maknanya dari Allah, ia disampaikan kepada Rasulullah SAW melalui salah satu cara penurunan wahyu, sedang lafadznya dari Rasulullah SAW, inilah pendapat yang kuat. Dinisbahkannya hadist qudsi kepada Allah SWT adalah nisbah mengenai isinya, bukan nisbah mengenai lafadznya. Sebab seandainya hadist qudsi itu lafalnya juga dari Allah, maka tidak ada lagi perbedaan antara hadist qudsi dengan Al-Quran. Dan tentu pula gaya bahasanya menuntut untuk ditantang, serta membacanya pun diangggap ibadah. Sedangkan hadist Nabawi adalah hadits yang makna maupun lafalnya berasal dari Nabi Muhammad Rasulullah SAW sendiri.

6.    Perbedaan Hadist Qudsi, Hadist Nabawi dan Al-Qur’an
           Perbedaan dilihat dari 4 segi yaitu segi bahasa dan makna, periwayatan, kemukjizatan, dan nilai membacanya.
a.       Perbedaan dari segi bahasa dan makna adalah sebagai berikut:
1)       Al-Qur’an bahasa dan maknanya langsung dari Allah SWT.
2)      Hadis Qudsi maknanya dari Allah SWT. Bahasanya dari Nabi SAW.
3)      Hadis Nabawi bahasa dan maknanya dari Nabi SAW.
b.      Perbedaan dari segi periwayatan adalah sebagai berikut:
1)      Al-Qur’an tidak boleh diriwayatkan dengan maknanya saja.
2)       Sedangkan selain Al-Qur’an boleh.
c.       Perbedaan dari segi kemukjizatan adalah sebagai berikut:
1)      Al-Qur’an baik lafal dan maknanya merupakan mukjizat.
2)       Hadist Qudsi dan Hadist Nabawi bukan merupakan mukjizat.
d.       Perbedaan dari segi nilai membacanya adalah sebagai berikut:
1)      Al-Qur’an diperintahkan untuk dibaca, baik pada waktu shalat maupun di luarnya sebagai ibadah, baik orang yang membacanya itu mengerti maksudnya atau tidak.
2)      Hadist Qudsi dan Nabawi dilarang dibaca ketika shalat dan membacanya tidak bernilai ibadah. Yang terpenting dalam hadist adalah untuk dipahami, dihayati, dan diamalkan.
7.    Persamaan Hadist Qudsi, Hadist Nabawi dan Al-Qur’an
           Persamaan hadist qudsi, hadist nabawi dan al-Quran  adalah bahwa semuanya keluar dari antara dua bibir, maksudnya mulut- Nabi Muhammad SAW. Dan semuanya mengandung anwar (cahaya-cahaya) dari anwarnya Nabi Muhammad SAW dan semua yang Nabi SAW katakan adalah wahyu.

C.    Kesimpulan
Secara Etimologi  Wahyu adalah ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus ditujukan kepada orang yang diberitahu tanpa diketahui orang lain, sedangkan menurut syara wahyu sebagai pengetahuan dari dalam dirinya dengan disertai keyakinan pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantara ataupun tidak; yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya  ataupun tanpa suara sama sekali.
Cara turunnya wahyu kepada malaikat dapat berupa kalam Allah langsung kepada malaikat tanpa perantaraan dengan kalam yang telah dipahami oleh malaikat, wahyu yang turun kepada para rasul melalui perantaraan  malaikat pembawa wahyu dan secara langsug dapat berupa; a). diantaranya melalui mimpi yang benar, b).  Allah berbicara secara langsung, c). Cara lain adalah seperti gemerincing lonceng.
Hadist Qudsi ialah:
ما أخبر الله نبيه بالاهام أو بالمنام فأخبر النبي ص.م. ذالك المعني بعبارة نفسه
Artinya: “Sesuatu yang dikhabarkan Allah Ta’ala kepada  Nabi-Nya dengan melakukan ilham atau impian yang kemudian Nabi menyampaikan makna dari ilham atau impian itu dengan ungkapan kata beliau sendiri”
Sedangkan menurut istilah pengertian hadist adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, persetujuan atau sifat.
Dari penjelasan makalah diatas dapat diagaris bawahi bahwa antara hadist qudsi, hadist nabawi dan al-Qur’an memilii perbedan dan persamaan. Wahyu dalam hal ini juga memiliki kaitan yang erat bahkan dari semua yang dikatakan Nabi Muhammad SAW adalah wahyu.


DAFTAR PUSTAKA
Anwar,  Abu. Ulumul Qur’an ; Sebuah Pengantar,  Cet. 9. Pekan Baru: Amzah. 2009.
Ma’rifat, M. Hadi.  Sejarah Al-Qur’an Cet; II. Jakarta: Al-Huda. 2007.
Majid Khon, Abdul.Ulumul Hadist. Cet. Ke-5. Jakarta: Bumi Aksara. 2011.
Marzuki, Kamaluddin. ‘Ulum al-Qur’an Cet. II. Bandung: Remaja Rosdakarya. 1994.
 Shihab, M. Quraish.  Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan peranan Wahyu dalam Masyarakat  Cet.II. Bandung : PT. Mizan Pustaka. 2007.
Yusuf, Kadar M. Studi Al-Qur’an  Cet. I. Jakarta:  Amzah. 2009.



[1] M. Quraish Shihab,  Membumikan Al-Qur’an; Fungsi dan peranan Wahyu dalam Masyarakat Cet.II (Bandung : PT. Mizan Pustaka. 2007),  hlm. 63-64.
[2] M. Hadi Ma’rifat, Sejarah Al-Qur’an Cet; II ( Jakarta: Al-Huda, 2007),  hlm. 8.
[3] Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum al-Qur’an  Cet. II (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 11.
[4] Manna‘ Khalil  al-Qattan, Mabahis  fi ‘Ùlumil Qur’an  di terjemahkan oleh Mudzakir AS , Studi ilmu-ilmu Qur’an  Cet. 15 (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa , 2012), hlm. 38.
[5] Manna‘ Khali>l  al-Qattan Mabahis  fi ‘Ùlumil Qur’an  di terjemahkan oleh Mudzakir AS , Studi ilmu-ilmu Qur’an  Cet. 15,…., hlm. 42.
[6] Manna‘ Khalil  al-Qattan, Mabahis  fi ‘Ùlumil Qur’an  di terjemahkan oleh Mudzakir AS , Studi ilmu-ilmu Qur’an  Cet. 15…hlm. 43.
[7] Abu Anwar, Ulumul Qur’an ; sebuah pengantar  Cet. 9 (Pekan Baru: Amzah, 2009), hlm. 15-17. 
[8] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an Cet. I (Jakarta; Amzah, 2009), hlm. 23.
[9] Kadar M. Yusuf, Yusuf, Studi Al-Qur’an Cet. I hlm. 24.
[10] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist. Cet. Ke-5, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2011.)  hlm. 1.
[11] www.saefulmubarok.blogspot.com/hadist qudsi, diakses pada 20 September 2013 pukul 17.00 WIB.
[12]  Manna‘ Khalil  al-Qattan, Mabahis  fi ‘Ùlumil Qur’an  di terjemahkan oleh Mudzakir AS , Studi ilmu-ilmu Qur’an  Cet. 15…hlm. 22-23.
[13] www. stit at-taqwa.com/hadist nabawi, diakses pada 20 September 2013 pukul 17.11 WIB.

Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel